Ditulis oleh : Kharor Abdillah
______________________________
"Ada 'Ndangdutan' itu ditempat siapa, Sul..?", tanya saya pada Samsul yang baru masuk ke warung Bang Duki.
"Oh.. itu ditempatnya Mandor Gun, Kang. Katanya sih untuk melunasi nazar yang di ikrarkan kalau proyek tol di kota jatuh ke tangannya," jawab Samsul setelah memesan kopi pada Bang Duki.
"Nazar kok Ndangdutan. Lha, kamu nggak nonton, Sul...?," ujar saya sambil mengambil kue monyos di depannya.
"Sudah, Kang... Tadi sudah hadir sebelum kesini. Dapat dua lagu terus ngopi ke sini. He he he...," jawab Samsul.
"Memang kalau nazar Ndangdutan itu gak boleh ya, Kang?," tanya Bang Duki sambil memberikan kopi pesanan Samsul.
"Yang namanya nazar itu menetapkan atau mewajibkan atas diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang asalnya tidak wajib untuk beribadah atau mendekatkan diri pada Allah," jawab saya.
" Lha Ndangdutan kan juga asalnya tidak wajib, Kang...,?" sela Samsul sambil menuangkan kopinya dalam lépék.
" Iya. Tapi sebagaimana pada umumnya, Ndangdutan itu apa bisa jadi sarana untuk mendekatkan diri pada Allah...?. Lha kamu sendiri tadi lihat biduannya buka aurat apa tidak...? Nyahwati kelelakian kamu apa tidak...?," tanya saya sambil mengelap bekas minyak ditangan dengan serbet lusuh diwarung Bang Duki.
"He he... rok mini kang..., jadi berontak kelelakian saya...," bisik Samsul di dekat telinga saya sambil nyengir kuda.
"Apa maksudnya nazar itu ada syarat-syaratnya begitu, Kang...?," tanya Bang Duki pada saya sambil ngisi termosnya dengan air panas.
"Benar Bang.., Pertama, syarat sah dari pelaku nazar (al-nadzir). Pelaku nazar haruslah ; Berakal sehat, beragama Islam dan mengucapkan nazar dengan kata-kata, tidak cukup hanya dengan niat saja. Jadi apabila seseorang hanya berniat nazar tanpa ada ucapan, maka nazarnya tidak sah dan tidak wajib memenuhi nadzar tersebut", jawab saya.
"Kedua, syarat sah dari perkara yang dibuat nazar (al-mandzūr bihi). Yaitu harus ; Perkara ibadah, seperti shalat sunnah, puasa sunnah, sadaqah dll. Jadi perkara yang bukan bersifat ibadah, seperti perkara maksiat atau perkara mubah (seperti makan dan minum) itu tidak sah dibuat nazar. Kemudian kalau yang dijadikan nazar itu berupa harta, maka harta tersebut harus sudah jadi hak milik pelaku saat bernazar. Dan yang terakhir perkara yang dijadikan nazar bukanlah perkara fardhu atau wajib, seperti shalat lima waktu atau puasa Ramadlan," lanjut saya memberikan penjelasan pada Bang Duki dan Samsul.
" Begitu ya, Kang... Terus nazar itu sendiri ada berapa jenis kang...? ", tanya Samsul lebih lanjut setelah menyerutup kopinya dari lépék.
" Kalau dari segi bentuknya, nazar ada dua jenis. Yang pertama disebut dengan Nazar Lajjaj, yaitu bernazar mencegah diri dari melakukan sesuatu, seperti "Saya besok tidak akan ngopi diwarung Bang Duki". Yang kedua Nazar Mujâzah, yaitu nazar (janji pada diri sendiri) untuk melakukan sesuatu".
"Dan Nazar Mujâzah sendiri itu ada dua macam ; (1) Nazar Tabarrur / Mutlak, yaitu nazar yang dilakukan tanpa dikaitkan dengan sesuatu hal. Seperti seseorang bernazar bahwa dia akan shalat sunnah". (2) Nazar muqoyyad /Mu'allaq, yaitu nazar yang dilakukan apabila sudah berhasil dalam perkara yang diinginkan. Seperti seseorang bernazar bila anaknya sembuh dia akan ber-i'tikaf ", jawab saya menjelaskan dengan lebih detail pada mereka.
" Terus kalau syarat dari perkara yang dibuat nazar (al-mandzūr bihi) dibagi menjadi berapa Kang...? ", tanya Samsul sambil membuka plastik bungkus péyék.
" Lima macam ; (1)Nazar taat dan ibadah, seperti nazar untuk bersedekah, (2) Nadar mubah, seperti nazar untuk makan nasi, (3) Nazar maksiat, seperti nazar untuk berzina, (4) Nazar makruh, seperti nazar untuk cebok dengan tangan kiri, dan ((5) Nazar syirik, seperti nazar untuk menyembah berhala," jawab saya pada Samsul yang mulutnya mulai riuh mengunyah péyék.
" Berarti nazarnya Pak Gun termasuk nazar maksiat ya, Kang...?," tanya Bang Duki.
" Ya, begitulah. Kalian simpulkan sendiri," jawab saya dengan mengangkat kedua pundak.
" Kang.., Apa kalau terlanjur nazar maksiat itu lantas tidak usah dikerjakan saja...?," tanya Samsul lagi.
" Begini, Sul... Nazar taat dan ibadah, hukumnya wajib untuk ditunaikan. Nazar mubah, boleh memilih melaksanakannya atau membayar kafarah, sebagian ulama bahkan membolehkan untuk tidak menunaikan dan tidak perlu membayar kafarah (tebusan). Nazar maksiat, nazarnya sah tapi tidak boleh dilaksanakan dan harus membayar kafarah, sebagian ulama berpendapat tidak perlu membayar kafarah (tebusan). Nazar makruh, maka boleh memilih antara melaksanakannya atau membayar kafarah. Dan Nazar syirik, maka nazarnya tidak sah dan tidak ada kafarah, akan tetapi harus bertaubat," jawab saya menguraikan .
" Lha Kafarah atau tebusannya apa, Kang.,?" tanya Samsul setelah menghabiskan kopinya.
" Sebagaimana dalam QS. Al-Ma`idah ayat 89, kafarah atau tebusannya adalah dengan memberi makan atau pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau memerdekakan seorang budak. Jika tidak mampu ketiga hal di atas, maka dibayar dengan berpuasa selama tiga hari," jawab saya setelah menghabiskan sisa kopi dalam cangkir jiga.
" Wah, jadi paham sekarang aku... matur suwun yang banyak, Kang... ", ucap Samsul.
" WaLlãhu a'lamu bish_shawâb ", timpal saya sebelum mencatat bon dibuku Bang Duki.
Kamipun pulang bersama menyusuri jalan kampung yang sudah penuh lubang dan menunggu proyek perbaikan. Dari tempat mandor Gun samar-samar terdengar lagu 'Sakitnya disini' yang ternyata pelan-pelan ditirukan oleh si Samsul.