Ditulis oleh : Kharor Abdillah
_______________________
"Saya terima nikahnya Firda Nafisah binti Ahmad Susmoyo dengan mas kawin cincin emas 24 karat seberat 3 gram dibayar tunai ", begitu ucap Gunawan menjawab shigat ijab penghulu yang menjadi wakil dari ayah Firda.
Bibir Firda melukiskan senyum lega dan bahagia mendengar shigat qabul yang diucapkan oleh Gunawan, walaupun dia tak bisa menahan air mata yang mulai membasahi pipinya sebagai tangis ungkapan bahagia dan syukurnya. Lelaki 29 tahun yang ia kenal saat menghadiri gema shalawat Habib Syekh bin Abdil Qadir di alun-alun kota Jepara 3 tahun yang lalu, kini akhirnya resmi menjadi suaminya.
Hati Firda berdegup cepat saat ia menyambut Gunawan dengan setelan jas hitamnya yang mulai naik ke pelaminan menghampirinya. Ia sambut suaminya dengan senyum manisnya, menyalami dan mencium telapak tangan suaminya cukup lama sambil berjanji dalam hati akan menjadi istri yang baik sampai tua.
Setelah Gunawan membacakan dan memberkahi Firda dengan do'a, mereka pun duduk berdampingan di atas pelaminan bak raja dan permaisurinya. Namun bunga-bunga kegembiraan itu tak lama bersemayam dalam hati Firda, karena tangan Gunawan yang menggenggam tangannya saat duduk bersanding di kursi pelaminan tiba-tiba terasa dingin. Gunawan meninggal.
Sorenya. Ketika Jenazah Gunawan akan dibawa ke masjid al-Ittihad untuk di shalatkan.
"Pak Kyai, izinkan saya menshalatinya sebelum dibawa ke masjid", pinta Firda dalam isak tangisnya.
"Silahkan, Nduk...", jawab Pak Kiyai yang kemudian memberi isyarat kepada para pemikul keranda untuk meletakkan keranda kembali.
Bersama Syekh dan pelayat yang lain, Ngatno menyaksikan keharuan cinta Firda yang melepas suaminya dengan empat takbir shalat jenazah. Air matanya pun mengembang dikelopak mata. "Betapa ajal sedikitpun tidak akan pernah mau kompromi dengan cinta", batin Ngatno. Suasana sangat hening dan mengharukan.
"Syekh, memang wanita boleh menshalati jenazah ya?", tanya Ngatno berbisik ditelinga Syekh.
"Nggak apa-apa", jawab Syekh sambil bangkit dari kursi karena jenazah Gunawan sudah mulai dibawa meninggalkan rumah duka.
"Transfer ilmunya dong, Syekh. Bagaimana tinjauan fikihnya...?", tanya Ngatno lebih lanjut.
"Shalat jenazah juga disyari'atkan dikerjakan oleh kaum wanita, hanya saja dalam pelaksanaannya tidak disunahkan dengan berjamaah, meskipun tidak ada larangan jika berjamaah bersama wanita-wanita lainnya", jawab Syekh.
"Lantas apakah shalatnya Firda tadi sudah bisa menggugurkan fardhu kifayahnya shalat jenazah, padahal kaum pria masih ada, Syekh...?"Lanjut Ngatno.
"Tentang masalah itu ulama berbeda pendapat. Pendapat yang paling shahih menyatakan belum bisa menggugurkan fardhu kifayahnya, pendapat inilah yang diputuskan oleh al-Faurâni, al-Baghawy dan lainnya. Pendapat yang kedua menyatakan bisa menggugurkan fardlu kifayahnya shalat janazah, pendapat ini diputuskan oleh al-Mutawally" Jawab Syekh dengan detail.
"Lalu seandainya pada satu jenazah tidak ada yang hadir kecuali hanya kaum wanita, apakah wajib atas mereka untuk menshalati janazah tersebut?" Tanya Ngatno lagi.
"Menurut kesepakatan ulama wajib dan sudah menggugurkan fardlu kifayahnya shalat jenazah, namun ya tadi, shalatnya dengan sendiri-sendiri, walaupun tidak masalah bila dikerjakan berjamaah", jawab Syekh.
"WaLlahu a'lamu biş-şawab. Kita sudah sampai masjid, nanti kamu lihat saja sendiri keterangannya di kitab Al-Majmū' 'alâ Syarh al-Muhaźźab, V hal. 211-213", lanjut Syekh pada Ngatno sebelum masuk ke masjid.
"InsyâaLlah, Syekh..." Sahut Ngatno sambil berlari kecil menuju ke tempat wudlu.
⊙ Juni 2020